Rabu, 06 Januari 2010

Artikel

URGENSITAS PENDIDIKAN DINIYAH MODERN

26 juni lalu puluhan tenaga pendidik nonformal yang tergabung dalam Pengurus Pusat Persatuan Guru Diniyah Indonesia (PP PGDI) melakukan aksi di depan kantor Departemen Agama, Jakarta. Mereka menuntut agar pemerintah memperhatikan guru diniyah dengan menyediakan anggaran negara untuk kesejahteraan mereka.
Ketua Umum PP PGDI Syahril Aidi mengatakan, jumlah guru diniyah di Indonesia sekitar 300 ribu. Mereka tak mendapat gaji, sedangkan uang honor yang diterima dari murid jumlahnya sangat tak wajar. Ada yang dapat bayaran Rp50 ribu/bulan.
Belum adanya pengakuan dari pemerintah berimbas pula pada kesejahteraan guru-guru madrasah diniyah yang relatif masih mengandalkan honor dari yayasan yang menaungi madrasah, sekalipun Undang-Undang Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah mengakui madrasah diniyah sebagai lembaga pendidikan keagamaan.
Sekalipun selama ini relatif tidak tersentuh oleh bantuan atau perhatian pemerintah, komunitas madrasah diniyah terbukti eksis. Semangat kemandirian itu, yang relatif tidak dimiliki lembaga pendidikan lain di luar pesantren.
Pemerintah sejauh ini belum mengarahkan perhatiannya pada pendidikan di pondok pesantren. Padahal, pesantren dengan madrasah diniyahnya terbukti selama ini menghasilkan lulusan yang peka terhadap gejolak sosial duniawi karena sisi ukhrawi (akhirat) yang juga diperhatikan selama proses pendidikan.
Pendidikan Diniyah menurut Zakiah Drajat merupakan pendidikan yang lebih banyak ditujukan kepada perbaikan sikap mental yang akan terwujud dalam amal perbuatan, baik bagi keperluan diri sendiri maupun orang lain yang bersifat teoritis dan praktis. Dengan demikian, pendidikan Islam berarti proses bimbingan dari pendidik terhadap perkembangan jasmani, rohani, dan akal peserta didik ke arah terbentuknya pribadi muslim yang baik (Insan Kamil).

Akhir-akhir ini, santer muncul berbagai penilaian terhadap pendidikan diniyah, misalnya bahwa kualitas madrasah diniyah ternyata tertinggal dibanding dengan sekolah umum. Penilaian semacam itu sesungguhnya jika kita mau berpikir jernih tidak adil. Sebab, yang dibandingkan hanyalah prestasi bidang mata pelajaran tertentu yang diujikan secara nasional. Padahal jika yang dibandingkan adalah mata pelajaran agama, maka jelas madrasah diniyah lebih unggul. Selain itu, membandingkannya juga tidak tepat. Sekolah dasar milik pemerintah seluruh kebutuhannya, seperti guru, buku, sarana dan prasarana lainnya, dipenuhi, sedangkan madrasah diniyah tidak. Perlakuan terhadap keduanya yang tidak sama itu, maka semestinya tidak tepat dibandingkan hasilnya. Membandingkan dengan cara seperti itu mestinya dihindari, sebab menjadi tidak adil.

Dulu, madrasah diniyah ini di beberapa tempat ternyata hasilnya cukup baik. Karena dibina oleh orang-orang yang ikhlas, dan sifatnya tidak terlalu formal-----para santrinya tidak sebatas mengejar ijazah atau sertifikat, maka menurut informasi dari beberapa sumber, tidak sedikit santri madrasah diniyah mampu memahami kitab kuning. Padahal sementara itu, lulusan perguruan tinggi agama Islam, belum tentu mampu. Kegagalan itu, mungkin karena niat mereka kurang ikhlas, tidak sungguh-sungguh dan apalagi masih ditambah kelemahan lainnya, yakni mereka kuliah hanya bersifat formalitas untuk mendapatkan ijazah.
Dahulu, para tokoh agama menganggap pendidikan diniyah tersebut sedemikian penting, sehingga sampai-sampai H.Mahmud Sayuthi (alm) tatkala menjabat sebagai Kepala Kantor Departemen Agama di Kabupaten Ponorogo menjalin kerjasama dengan Kepala Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, untuk menyelenggarakan Madrasah Diniyah di sore hari bagi seluruh siswa sekolah dasar. Di sore hari gedung sekolah dasar digunakan untuk madrasah diniyah. Sedangkan para muridnya adalah sekaligus juga siswa sekolah dasar itu. Melalui cara ini, tidak pernah dikeluhkan oleh masyarakat tentang kekurangan jam pelajaran agama bagi para siswa sekolah umum.

Lalu kenapa pendidikan Diniyah yang di selenggarakan di negara kita seakan di anak tirikan. Sampai-sampai para guru diniyah yang tergabung dalam PGDI tersebut berdemo? Sebetulnya terlalu hina kalau para guru diniyah itu berdemo, mengingat motifasi mereka dalam mengajar adalah ihklas lillah, tanpa ada embel-embel ini dan itu. Bahkan honorium yang di terima guru diniyah di istilahkan sebagai Bissyarah ( penggembira hati ) dengan artian sebagai penyemangat mengajar saja. Bukan menjadi tujuan utama. Namun permasalahannya bukan disebabkan oleh masalah yang bukan menjurus kepada keikhlasan. Mereka tahu betul akan hal itu. Yang mereka tuntut adalah keadilan pemerintah dalam kebijakan-kebijakan dalam dunia pendidikan. Tujuan mereka agar supaya lembaga diniyah di negeri ini mampu bersaing dengan lembaga lain yang nota bonenya tidak mengarah pada agama.
Enam Abad sebelum berkembangnya imperium Sriwijaya dan Mataram Kuno, penduduk wilayah nusantara dikenal sebagai bangsa bahari dan mampu meramu peradaban dari luar menjadi bagian dari peradaban nusantara yang hebat.
Bisa dilihat dari peninggalan-peninggalannya, yakni: Candi Borobudur, Prambanan, kekayaan peradaban melayu dan jawa kuno, huruf sanskrit menjadi huruf honocoroko, sistem pemerintahan kepulauan, dan sistem pertahan kelautan yang sangat tangguh. Tahun 1400 – 1600, Indonesia menjadi pusat kegiatan perdagangan muslim. Yang terakhir ini tak lepas dari peranan pesantren, dan pendidikan diniyah yang mulai dikembangakan pada masa kesultanan di Malaka, Demak, Cirebon, Banten, Lampung, Banjar, Ternate, Bone, Bima, dan Kesultanan Islam lainnya.
Mengaca pada enam abad yang lalu, sebagai nenek moyang bangsa ini yang sangat intens dalam pendidikan agama. Bangsa ini seharusnya mempunyai sistim pendidikan diniyah yang berkwalitas dan bertaraf internasional sebagai pengejawantahan dari identitas bangsa yang tak lepas dari agama islam. Lalu dengan alasan apa anak bangsa indonesia sekarang sangat riskan dengan pendidikan diniyah yang telah menjadi sistim pendidikan enam abad yang lalu sebagai nenek moyang bangsa ini? Toh masyarakan dahulu dan sekarang sama-sama di dominasi oleh masyarakat islami. Wallahu a’lam.

1 komentar: